Post by ermalizz on Aug 15, 2017 22:49:55 GMT
Teori William Strauss dan Neil Howe yang dikenal dari buku mereka yang berjudul Generations mengatakan bahwa manusia setelah Perang Dunia II dibagi menjadi empat kelompok yang terdiri dari Baby Boomers, Generasi X, Generasi Y, dan Generasi Z.
Millennials atau kadang juga disebut dengan generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X. Generasi millenial bisa dikatakan generasi langgas. Langgas diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti tidak terikat kepada sesuatu atau kepada seseorang; bebas. Generasi milenial juga terkadang bisa disebut dengan generasi funky, dimana generasi yang suka pemberontakan terhadap suatu kemapanan. Gaya bicara yang terkesan becanda, mengejek, bagi orang tua tidak sopan, dalam masalah agama terkesan mengolok-ngolok, dan terkadang suatu masalah dianggap tabu.
Menurut teori Strauss dan Howe, generasi ini lahir pada 1982-2004. Maka ini berarti millenials adalah generasi muda yang berumur 17- 37 pada tahun ini. Kelahiran generasi ini khas dan sangat berbeda karena sangat dekat dengan teknologi, baru lahirnya televisi berwarna, handphone dan internet mulai di perkenalkan.
Dalam buku berjudul Generasi Langgas Millenials Indonesia oleh Yoris Sebastian, Dilla Amran, dan Youth Lab menjelaskan millenials Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan pain point. Kelompok pertama adalah The Students Millenials yang lahir pada tahun 1993 hingga 2000 dimana pada era ini smartphone dan media sosial sudah mulai digunakan seperti Friendster dan Facebook. Kelompok kedua adalah The Working Millenials yang lahir pada 1987-1993, pada era ini kelompok tersebut mengalami boom social media saat masuk SMA. Kelompok ketiga adalah The Family Millenials yaitu mereka yang sudah mulai berkeluarga atau mulai memikirkan ke arah tersebut dan merupakan produk era reformasi serta mengalami masa transisi dari analog menjadi digital.
Banyak yang mengatakan generasi ini merupakan generasi yang nakal karena anti kemapanan, walaupun begitu, generasi ini mencari inovasi baru terus menerus untuk menyeimbangkan pola kehidupannya sehingga generasi ini memiliki daya kreativitas yang tinggi. Namun, generasi ini jadi terlihat suatu generasi labil dan tidak bisa di harapkan karena sulit untuk di prediksi dan di mengerti.
Pertumbuhan generasi millenials beriringan dengan pesatnnya kemajuan teknologi, sehingga juga kerap dilabeli bahwa generasi millenials merupakan generasi yang hanya peduli untuk membanggakan pola hidup kebebasan dan hedonisme, memiliki visi yang tidak realistis dan terlalu idealistis, Instant Generations serta tidak peduli agama, sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Padahal tahun 2020 hingga 2030, Indonesia akan mulai merasakan masa bonus demografi.
Bonus demografi merupakan puncak populasi usia produktif yang mencapai 70 persen dari total penduduk Indonesia. Indonesia bukan satu-satunya negara yang akan mengalami hal tersebut, negara di asia seperti Cina, Korea Selatan dan Jepang sudah merasakan bonus demografi dan memanfaatkannya secara maksimal. Akan tetapi ada juga negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi ini seperti Brasil dan Afrika Selatan. Bonus demografi bisa dikatakan pisau bermata dua entah itu dapat membantu atau malah merusak.
Salah satu faktor yang sangat penting bagi generasi millenials pahami dalam memaksimalkan bonus demografi tersebut ialah politik. Politik berasal dari bahasa Yunani; politikos yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara atau secara umum, politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Sistem politik hampir semua negara adalah sistem demokrasi yang merupakan titik terbaik dan terstabil dari suatu sistem pemerintahan. Setiap individu memiliki hak untuk menentukkan pemimpin yang akan mengatur masa depan negaranya dan setiap individu juga memiliki hak untuk memberikan aspirasinya ke pemerintah yang berkuasa. Oleh karena itu, demokrasi adalah sistem politik kerakyatan dan tanpa adanya patisipasi rakyat, demokrasi tidak akan berjalan dengan baik.
Masyarakat sebagai penggerak jalannya demokrasi tentunya harus sadar akan hak istimewa yang mereka miliki, khususnya generasi millenials yang merupakan partisipan penggerak awal demokrasi. Sikap pasif generasi millenials akan menjadi suatu proses pelemahan demokrasi, karena generasi ini merupakan individu yang sangat kritis dalam menganalisis regulasi dan peka akan pemimpin yang tepat untuk kemajuan negaranya. Generasi millenials pun merupakan penerus bangsa memang dituntut untuk aktif dalam kehidupan sosial dan politik. UNDP (United Nations Development Programme) pun menguatkan pendapat ini, mereka memandang bahwa anak muda menjadi pasukan positif dalam perubahan sosial transformatif, sehingga partisipasi anak muda dalam kehidupan politik patut diperhitungkan, bukan hanya masuk hitungan (dalam Enhancing Youth Political Participation Throughout The Electoral Cycle, UNDP, 2012).
Namun, fenomena yang muncul pada saat ini adalah minat akan tema politik di antara generasi millenials ini tampak tidak terlalu disukai. Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2012, ketertarikan anak muda Indonesia akan persoalan politik hanya berkisar 21 % dari 64 % potensi generasi muda. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan turunnya kepercayaan masyarakat akan politisi-politisi yang merupakan perwakilan rakyat, sehingga mereka menjadikan tema politik sebagai prioritas tak utama, dibawah masalah kesejahteraan, pekerjaan, kesehatan dan prioritas-prioritas lainnya. Sesungguhnya prioritas-prioritas tersebut sebenarnya diatur dan ditentukan oleh masalah politik bangsa dan negara.
Menurut artikel online www.kindersache.de, politik tidak hanya berkaitan erat dengan para politisi-politisi, tetapi masyarakat pun menentukan. Semua hal yang tidak terjadi di dalam rumah merupakan politik. Jadi semua hal yang terjadi di masyarakat umum pasti diatur oleh politik, contohnya tempat bermain, lalu lintas, sekolah, dan tempat umum lainnya.
Penyebab yang mengharuskan para generasi millenials ini melek politik ialah bila tidak paham politik hanya akan terus menjadi korban politik yang dihasilkan oleh para penggerak roda pemerintahan yang buruk. Politik tidak bisa dipisahkan dari pemuda, yang menjadi sumber suara untuk semua kebijakan pemerintah, mendukung atau menolak. Generasi millenials merupakan generasi penerus bangsa, saat pelaku politik orang tua dari generasi sebelumnya sudah tidak lagi produktif, generasai millenials inilah yang akan meneruskan estafet politik di negara, mengatur dan membuat kebijakan yang lebih baik. Serta, dengan hadirnya generasi millenials, akan membawa angin segar perubahan pada politik negara ini
Berdasarkan studi yang dilakukan Yayasan Friedrich Ebert atau Fredrich Ebert Stiftung (FES) bekerjasama dengan Deutschen Jugend-Institut (DJI), kontribusi generasi muda di Jerman menurut Johann de Rijke terdiri dari dua, yaitu partisipasi konvensional dan tidak konventional. Bekerja dan aktif dalam partai, serikat pekerja dan organisasi pemuda (kerelawanan) merupakan hal yang termasuk ke dalam partisipasi konvensional. Di samping itu, contoh dari partisipasi tidak konvensional adalah keikutsertaan dalam demonstrasi, petisi dan juga media sosial, seperti diskusi-diskusi online atau aksi protes media sosial. Kedua kriteria partisipasi tersebut berdasarkan studi dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni ketidakmampuan seseorang, karena tidak memiliki waktu, uang atau kompetensi yang memadai, ketidakinginan karena tidak adanya motivasi serta pandangan yang sesuai, serta tidak adanya dorongan dari luar untuk aktif dalam kehidupan sosial politik.
Faktor-faktor penentu partisipasi politik menunjukkan bahwa selain alasan dan motivasi dalam diri anak muda untuk berkontribusi, terdapat juga faktor dorongan luar yang juga penting. Ketidakmampuan dan ketidakinginan dapat berubah menjadi kemampuan dan keinginan yang berpotensi, jika anak muda paham pentingnya dan berharganya kontribusi mereka dalam proses perkembangan demokrasi Indonesia. Pasti suatu awal akan diawali dari perubahan dalam dirinya. Pada proses perubahan ini, faktor luar menjadi penentu dan juga sarana dalam memahami dan menampung ide dan gagasan yang berharga untuk pembangunan negara.
Menurut beberapa riset, generasi millenials sebenarnya memiliki sikap politik yang dinamis dan peduli. Dalam hal ini, kebanyakan sikap politik mereka cenderung berbanding terbalik dengan generasi sebelumnya. Walaupun masih sedikit presentase kepedulian generasi millenials terhadap politik, tidak bisa diabaikan begitu saja partisipasi generasi millenials Indonesia pada peristiwa pilkada Februari lalu.
Karakteristik generasi millenials dalam pemilihan calon gubernur ataupun presiden, mayoritas lebih memilih yang sudah bekerja nyata serta sistem bekerja nya sudah di mengerti para milenial. Pan para generasi milenial juga lebih berharap pada politik yang jujur, akan tetapi saat ini politik di indonesia masih porak-poranda.
Dalam studi sosial media dan internet oleh Andreas Kaplan mengatakan bahwa dunia sekarang mengalami kontruksi ideologi dan teknologi yang merupakan dasar perubahan. Generasi milenial saat ini memiliki ideologi sendiri, dimana tidak ingin di dikte dan di kontruksi oleh ideologi di masa lalu, menolak ekonomi kekuasaan masa lalu. Generasi milenial ingin sesuatu yang cair, yang terkadang tidak selalu terstruktur, tidak selalu ideologis dan tidak selalu politik praktis; sebuah kehidupan politik yang saling memperebutkan kekuasaan.
Saat ini media terlalu sering memperlihatkan suatu informasi politik pencitraan dan kebohongan, akan tetapi generasi millenials ini tidak akan dengan mudahnya mengambil informasi tersebut tanpa melihat rekam jejak nya. Jadi, generasi milenial merupakan generasi yang bisa dikatakan tidak percaya pada berita hoax.
Generasi millenials yang sudah melek akan politik, pasti memiliki seorang tokoh politik yang hendak di jadikan idolanya, namun bila kedepannya kredibilitas idola tersebut turun, akan ditinggalkan, seperti yang sebelumnya dikatakan, generasi ini menyukai sesuatu yang terlihatnya nyata dan jujur tanpa pencitraan dari cara kerja sampai sifatnya. Generasi ini juga lebih suka pemimpin yang setara tanpa mendominasi, tidak suka monolog seperti keadaan politik saat ini dan orisinil tanpa membawa norma serta moralitas
Derek Thompson kontributor untuk The Atlantis menulis, bahwa pada generasi millenial, memiliki pandangan politik yang liberal, bahkan berpihak di sayap kiri dan menyerempet dengan aliran sosialis. Ini yang kemudian turut juga mendorong sikap politik mereka untuk lebih terlibat merealisasikan pandangan politiknya atau memilih orang yang mendekati dengan pandangan mereka. Seperti dikatakan sebelumnya, generasi millenials ialah generasi langgas; bebas. Politik liberal diartika politik yang bebas dari aturan norma, moralitas, agama, ideologi, dan sebagainya. Walaupun pada hakekat nya, politik tidak bisa dipisahkan dari yang disebutkan diatas. Namun, pandangan politik liberal yang dianut generasi millenials terkesan terlalu bebas, padahal negara adidaya seperti Amerika Serikat yang bahkan menganut demokrasi liberal masih memiliki batasan-batasan yang diatur dan masih memupuk negaranya seperti setiap hari para rakyatnya harus melafalkan sumpah janji setia terhadap negaranya tersebut.
Komentator dan psikiater Amerika, sopir taksi London, dan akademisi Oxford mengatakan agama merupakan penyebab semua perang besar dalam sejarah. Padahal ketika membahas alasan orang pergi berperang, para sejarahwan militer mangakui bahwa banyak faktor sosial, materiel, dan ideologis yang saling berhubungan didalamnya, diantara alasan utamanya adalah persaingan merebut sumber daya yang langka. Namun, saking sulitnya menghapuskan gambaran agresif agama dalam kesadaran sekuler sehingga terus saja memikulkan beban dosa-dosa kekerasan abad kedua puluh ke punggung “agama”, lalu melepasnya ke padang gurun politik.
Pada masa periode modern awal, orang Eropa dan Amerika mulai memisahkan agama dan politik, karena mereka menganggap, secara sangat tidak akurat, bahwa percekcokan teologis zaman Reformasi sepenuhnya bertanggung jawab atas Perang Tiga Puluh Tahun. Keyakinan bahwa agama harus secara ketat dikeluarkan dari kehidupan politik disebut charter-myth negara-bangsa berdaulat. Kebiasaan memisahkan agama dan politik sekarang menjadi begitu lazim di Barat sehingga sulit bagi kita untuk menghargai betapa pada masa lalu keduanya benar-benar seiring sejalan. Ini bukan sekedar masalah negara menggunakan agama; keduanya tak terpisahkan. Memisahkan keduanya akan tampak seperti mencoba untuk memisahkan gin dari koktail.
Meskipun tidak menutup kenyataan bahwa masih menyisakan konservatisme didalam diri para generasi millenials yang berasal dari pengaruh generasi sebelumnya yang masih ada sampai saat ini.
Di Indonesia, gerakan serupa juga ada. Teman Ahok adalah salah satunya. Gerakan yang diinisiasi oleh kaum muda ini semula diniatkan untuk mendorong Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen. Gerakan ini dimaksudkan menciptakan pemimpin yang tidak punya utang budi kepada partai politik, sehingga nantinya diharapkan bisa memimpin dengan lebih jernih dan transparan, tanpa perlu beban membayar utang budi. Walaupun pada akhirnya gagal dilaksanakan.
Sistem politik negara ini tidak selalu sistematis, banyak politisi yang terperangkap dalam anomali politik negara ini. Oleh karena itu, generasi millenials hendaknya melek akan politik dari sedini mungkin.
Jadi, politik dalam kemasan generasi langgas ialah politik liberal yang bebas tanpa batasan, dan politik yang jujur serta transparan. Akan tetapi konsep ini perlu diperbaiki, politik tidak bisa bebas begitu saja, politik mengatur segalanya dalam negara ini, bila bebas begitu saja akan merusak hak-hak tiap individu di negara ini.
Millennials atau kadang juga disebut dengan generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X. Generasi millenial bisa dikatakan generasi langgas. Langgas diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti tidak terikat kepada sesuatu atau kepada seseorang; bebas. Generasi milenial juga terkadang bisa disebut dengan generasi funky, dimana generasi yang suka pemberontakan terhadap suatu kemapanan. Gaya bicara yang terkesan becanda, mengejek, bagi orang tua tidak sopan, dalam masalah agama terkesan mengolok-ngolok, dan terkadang suatu masalah dianggap tabu.
Menurut teori Strauss dan Howe, generasi ini lahir pada 1982-2004. Maka ini berarti millenials adalah generasi muda yang berumur 17- 37 pada tahun ini. Kelahiran generasi ini khas dan sangat berbeda karena sangat dekat dengan teknologi, baru lahirnya televisi berwarna, handphone dan internet mulai di perkenalkan.
Dalam buku berjudul Generasi Langgas Millenials Indonesia oleh Yoris Sebastian, Dilla Amran, dan Youth Lab menjelaskan millenials Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan pain point. Kelompok pertama adalah The Students Millenials yang lahir pada tahun 1993 hingga 2000 dimana pada era ini smartphone dan media sosial sudah mulai digunakan seperti Friendster dan Facebook. Kelompok kedua adalah The Working Millenials yang lahir pada 1987-1993, pada era ini kelompok tersebut mengalami boom social media saat masuk SMA. Kelompok ketiga adalah The Family Millenials yaitu mereka yang sudah mulai berkeluarga atau mulai memikirkan ke arah tersebut dan merupakan produk era reformasi serta mengalami masa transisi dari analog menjadi digital.
Banyak yang mengatakan generasi ini merupakan generasi yang nakal karena anti kemapanan, walaupun begitu, generasi ini mencari inovasi baru terus menerus untuk menyeimbangkan pola kehidupannya sehingga generasi ini memiliki daya kreativitas yang tinggi. Namun, generasi ini jadi terlihat suatu generasi labil dan tidak bisa di harapkan karena sulit untuk di prediksi dan di mengerti.
Pertumbuhan generasi millenials beriringan dengan pesatnnya kemajuan teknologi, sehingga juga kerap dilabeli bahwa generasi millenials merupakan generasi yang hanya peduli untuk membanggakan pola hidup kebebasan dan hedonisme, memiliki visi yang tidak realistis dan terlalu idealistis, Instant Generations serta tidak peduli agama, sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Padahal tahun 2020 hingga 2030, Indonesia akan mulai merasakan masa bonus demografi.
Bonus demografi merupakan puncak populasi usia produktif yang mencapai 70 persen dari total penduduk Indonesia. Indonesia bukan satu-satunya negara yang akan mengalami hal tersebut, negara di asia seperti Cina, Korea Selatan dan Jepang sudah merasakan bonus demografi dan memanfaatkannya secara maksimal. Akan tetapi ada juga negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi ini seperti Brasil dan Afrika Selatan. Bonus demografi bisa dikatakan pisau bermata dua entah itu dapat membantu atau malah merusak.
Salah satu faktor yang sangat penting bagi generasi millenials pahami dalam memaksimalkan bonus demografi tersebut ialah politik. Politik berasal dari bahasa Yunani; politikos yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara atau secara umum, politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Sistem politik hampir semua negara adalah sistem demokrasi yang merupakan titik terbaik dan terstabil dari suatu sistem pemerintahan. Setiap individu memiliki hak untuk menentukkan pemimpin yang akan mengatur masa depan negaranya dan setiap individu juga memiliki hak untuk memberikan aspirasinya ke pemerintah yang berkuasa. Oleh karena itu, demokrasi adalah sistem politik kerakyatan dan tanpa adanya patisipasi rakyat, demokrasi tidak akan berjalan dengan baik.
Masyarakat sebagai penggerak jalannya demokrasi tentunya harus sadar akan hak istimewa yang mereka miliki, khususnya generasi millenials yang merupakan partisipan penggerak awal demokrasi. Sikap pasif generasi millenials akan menjadi suatu proses pelemahan demokrasi, karena generasi ini merupakan individu yang sangat kritis dalam menganalisis regulasi dan peka akan pemimpin yang tepat untuk kemajuan negaranya. Generasi millenials pun merupakan penerus bangsa memang dituntut untuk aktif dalam kehidupan sosial dan politik. UNDP (United Nations Development Programme) pun menguatkan pendapat ini, mereka memandang bahwa anak muda menjadi pasukan positif dalam perubahan sosial transformatif, sehingga partisipasi anak muda dalam kehidupan politik patut diperhitungkan, bukan hanya masuk hitungan (dalam Enhancing Youth Political Participation Throughout The Electoral Cycle, UNDP, 2012).
Namun, fenomena yang muncul pada saat ini adalah minat akan tema politik di antara generasi millenials ini tampak tidak terlalu disukai. Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2012, ketertarikan anak muda Indonesia akan persoalan politik hanya berkisar 21 % dari 64 % potensi generasi muda. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan turunnya kepercayaan masyarakat akan politisi-politisi yang merupakan perwakilan rakyat, sehingga mereka menjadikan tema politik sebagai prioritas tak utama, dibawah masalah kesejahteraan, pekerjaan, kesehatan dan prioritas-prioritas lainnya. Sesungguhnya prioritas-prioritas tersebut sebenarnya diatur dan ditentukan oleh masalah politik bangsa dan negara.
Menurut artikel online www.kindersache.de, politik tidak hanya berkaitan erat dengan para politisi-politisi, tetapi masyarakat pun menentukan. Semua hal yang tidak terjadi di dalam rumah merupakan politik. Jadi semua hal yang terjadi di masyarakat umum pasti diatur oleh politik, contohnya tempat bermain, lalu lintas, sekolah, dan tempat umum lainnya.
Penyebab yang mengharuskan para generasi millenials ini melek politik ialah bila tidak paham politik hanya akan terus menjadi korban politik yang dihasilkan oleh para penggerak roda pemerintahan yang buruk. Politik tidak bisa dipisahkan dari pemuda, yang menjadi sumber suara untuk semua kebijakan pemerintah, mendukung atau menolak. Generasi millenials merupakan generasi penerus bangsa, saat pelaku politik orang tua dari generasi sebelumnya sudah tidak lagi produktif, generasai millenials inilah yang akan meneruskan estafet politik di negara, mengatur dan membuat kebijakan yang lebih baik. Serta, dengan hadirnya generasi millenials, akan membawa angin segar perubahan pada politik negara ini
Berdasarkan studi yang dilakukan Yayasan Friedrich Ebert atau Fredrich Ebert Stiftung (FES) bekerjasama dengan Deutschen Jugend-Institut (DJI), kontribusi generasi muda di Jerman menurut Johann de Rijke terdiri dari dua, yaitu partisipasi konvensional dan tidak konventional. Bekerja dan aktif dalam partai, serikat pekerja dan organisasi pemuda (kerelawanan) merupakan hal yang termasuk ke dalam partisipasi konvensional. Di samping itu, contoh dari partisipasi tidak konvensional adalah keikutsertaan dalam demonstrasi, petisi dan juga media sosial, seperti diskusi-diskusi online atau aksi protes media sosial. Kedua kriteria partisipasi tersebut berdasarkan studi dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni ketidakmampuan seseorang, karena tidak memiliki waktu, uang atau kompetensi yang memadai, ketidakinginan karena tidak adanya motivasi serta pandangan yang sesuai, serta tidak adanya dorongan dari luar untuk aktif dalam kehidupan sosial politik.
Faktor-faktor penentu partisipasi politik menunjukkan bahwa selain alasan dan motivasi dalam diri anak muda untuk berkontribusi, terdapat juga faktor dorongan luar yang juga penting. Ketidakmampuan dan ketidakinginan dapat berubah menjadi kemampuan dan keinginan yang berpotensi, jika anak muda paham pentingnya dan berharganya kontribusi mereka dalam proses perkembangan demokrasi Indonesia. Pasti suatu awal akan diawali dari perubahan dalam dirinya. Pada proses perubahan ini, faktor luar menjadi penentu dan juga sarana dalam memahami dan menampung ide dan gagasan yang berharga untuk pembangunan negara.
Menurut beberapa riset, generasi millenials sebenarnya memiliki sikap politik yang dinamis dan peduli. Dalam hal ini, kebanyakan sikap politik mereka cenderung berbanding terbalik dengan generasi sebelumnya. Walaupun masih sedikit presentase kepedulian generasi millenials terhadap politik, tidak bisa diabaikan begitu saja partisipasi generasi millenials Indonesia pada peristiwa pilkada Februari lalu.
Karakteristik generasi millenials dalam pemilihan calon gubernur ataupun presiden, mayoritas lebih memilih yang sudah bekerja nyata serta sistem bekerja nya sudah di mengerti para milenial. Pan para generasi milenial juga lebih berharap pada politik yang jujur, akan tetapi saat ini politik di indonesia masih porak-poranda.
Dalam studi sosial media dan internet oleh Andreas Kaplan mengatakan bahwa dunia sekarang mengalami kontruksi ideologi dan teknologi yang merupakan dasar perubahan. Generasi milenial saat ini memiliki ideologi sendiri, dimana tidak ingin di dikte dan di kontruksi oleh ideologi di masa lalu, menolak ekonomi kekuasaan masa lalu. Generasi milenial ingin sesuatu yang cair, yang terkadang tidak selalu terstruktur, tidak selalu ideologis dan tidak selalu politik praktis; sebuah kehidupan politik yang saling memperebutkan kekuasaan.
Saat ini media terlalu sering memperlihatkan suatu informasi politik pencitraan dan kebohongan, akan tetapi generasi millenials ini tidak akan dengan mudahnya mengambil informasi tersebut tanpa melihat rekam jejak nya. Jadi, generasi milenial merupakan generasi yang bisa dikatakan tidak percaya pada berita hoax.
Generasi millenials yang sudah melek akan politik, pasti memiliki seorang tokoh politik yang hendak di jadikan idolanya, namun bila kedepannya kredibilitas idola tersebut turun, akan ditinggalkan, seperti yang sebelumnya dikatakan, generasi ini menyukai sesuatu yang terlihatnya nyata dan jujur tanpa pencitraan dari cara kerja sampai sifatnya. Generasi ini juga lebih suka pemimpin yang setara tanpa mendominasi, tidak suka monolog seperti keadaan politik saat ini dan orisinil tanpa membawa norma serta moralitas
Derek Thompson kontributor untuk The Atlantis menulis, bahwa pada generasi millenial, memiliki pandangan politik yang liberal, bahkan berpihak di sayap kiri dan menyerempet dengan aliran sosialis. Ini yang kemudian turut juga mendorong sikap politik mereka untuk lebih terlibat merealisasikan pandangan politiknya atau memilih orang yang mendekati dengan pandangan mereka. Seperti dikatakan sebelumnya, generasi millenials ialah generasi langgas; bebas. Politik liberal diartika politik yang bebas dari aturan norma, moralitas, agama, ideologi, dan sebagainya. Walaupun pada hakekat nya, politik tidak bisa dipisahkan dari yang disebutkan diatas. Namun, pandangan politik liberal yang dianut generasi millenials terkesan terlalu bebas, padahal negara adidaya seperti Amerika Serikat yang bahkan menganut demokrasi liberal masih memiliki batasan-batasan yang diatur dan masih memupuk negaranya seperti setiap hari para rakyatnya harus melafalkan sumpah janji setia terhadap negaranya tersebut.
Komentator dan psikiater Amerika, sopir taksi London, dan akademisi Oxford mengatakan agama merupakan penyebab semua perang besar dalam sejarah. Padahal ketika membahas alasan orang pergi berperang, para sejarahwan militer mangakui bahwa banyak faktor sosial, materiel, dan ideologis yang saling berhubungan didalamnya, diantara alasan utamanya adalah persaingan merebut sumber daya yang langka. Namun, saking sulitnya menghapuskan gambaran agresif agama dalam kesadaran sekuler sehingga terus saja memikulkan beban dosa-dosa kekerasan abad kedua puluh ke punggung “agama”, lalu melepasnya ke padang gurun politik.
Pada masa periode modern awal, orang Eropa dan Amerika mulai memisahkan agama dan politik, karena mereka menganggap, secara sangat tidak akurat, bahwa percekcokan teologis zaman Reformasi sepenuhnya bertanggung jawab atas Perang Tiga Puluh Tahun. Keyakinan bahwa agama harus secara ketat dikeluarkan dari kehidupan politik disebut charter-myth negara-bangsa berdaulat. Kebiasaan memisahkan agama dan politik sekarang menjadi begitu lazim di Barat sehingga sulit bagi kita untuk menghargai betapa pada masa lalu keduanya benar-benar seiring sejalan. Ini bukan sekedar masalah negara menggunakan agama; keduanya tak terpisahkan. Memisahkan keduanya akan tampak seperti mencoba untuk memisahkan gin dari koktail.
Meskipun tidak menutup kenyataan bahwa masih menyisakan konservatisme didalam diri para generasi millenials yang berasal dari pengaruh generasi sebelumnya yang masih ada sampai saat ini.
Di Indonesia, gerakan serupa juga ada. Teman Ahok adalah salah satunya. Gerakan yang diinisiasi oleh kaum muda ini semula diniatkan untuk mendorong Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen. Gerakan ini dimaksudkan menciptakan pemimpin yang tidak punya utang budi kepada partai politik, sehingga nantinya diharapkan bisa memimpin dengan lebih jernih dan transparan, tanpa perlu beban membayar utang budi. Walaupun pada akhirnya gagal dilaksanakan.
Sistem politik negara ini tidak selalu sistematis, banyak politisi yang terperangkap dalam anomali politik negara ini. Oleh karena itu, generasi millenials hendaknya melek akan politik dari sedini mungkin.
Jadi, politik dalam kemasan generasi langgas ialah politik liberal yang bebas tanpa batasan, dan politik yang jujur serta transparan. Akan tetapi konsep ini perlu diperbaiki, politik tidak bisa bebas begitu saja, politik mengatur segalanya dalam negara ini, bila bebas begitu saja akan merusak hak-hak tiap individu di negara ini.