Post by isnasesari on Aug 20, 2017 4:13:19 GMT
Kalian yang usianya 18-35 tahun, bolehlah mendaku sebagai generasi milenial. Tapi, sadar atau tidak, generasi milenial ikut terlibat bahkan bisa jadi pelopor penurunan intelektual pada milenium ke-3 ini. Bahkan, dari sedikit anggota milenial yang menyadarinya, tak ada yang mampu mengubah arus ini. Hasil observasi singkat dari dinamika percakapan dan opini yang berseliweran di media sosial maupun komentar-komentar di kolom media online dan wadah baru digital, menunjukkan kecenderungan tersebut. Proyek penurunan intelektual ini – kalau boleh disebut begitu – bahkan menuduh para ahli sebagai ‘intelektual palsu’ dan menganggap ide-ide dan solusinya tidak cocok dengan ‘realita’ dan ‘budaya’ masyarakat Indonesia. Saya pikir para ilmuwan dari berbagai bidang setuju bahwa hubungan badan menjadi tidak sehat, ketika dilakukan oleh anak di bawah umur tertentu. Tak cuma itu, komitmen, tanggung jawab, dan tugas-tugas dalam pernikahan haruslah diberikan kepada mereka yang telah matang secara mental. Ya meski pada akhirnya perkawinan anak di bawah umur tertentu dimaklumi demi ‘adat’ atau ‘tradisi’, praktiknya itu justru menimbulkan masalah-masalah yang bisa menghambat kemajuan kualitas hidup. Selain masalah kesehatan, anak-anak yang menikah dini cenderung berhenti sekolah.
Pendidikan yang rendah ini memperkecil kemungkinan mereka mendapat pekerjaan yang layak atau jenjang karir yang lebih tinggi. Lagi-lagi, mereka akan terjebak dalam jurang kemiskinan. Ini memang bukan penemuan baru. Tapi, sampai hari ini, masalah itu masih menjadi pembahasan di komunitas internasional yang berupaya menurunkan angka pernikahan dini. Namun, kita hidup di zaman dimana sebuah grup jurnalis milenial akan kembali mempertanyakan penelitian dan kesimpulan yang telah sah tersebut. Ya demi mempertahankan status quo itu tadi – bahkan tanpa menyadarinya. Tentu ini berbeda dengan mempertanyakan kembali penelitian dan kesimpulan ilmiah demi kemajuan peradaban.
Para ahli dituduh tidak memahami ‘realita’, ‘adat’, atau ‘kebudayaan’ masyarakat setempat. Bahwa meminta para orang tua untuk tidak menikahkan anak-anak di bawah umur dianggap sebagai tindakan yang ceroboh, yang mungkin bisa mengancam kesejahteraan ekonomi. Tentu saja ini telah dibantah oleh hasil penelitian yang sudah membuktikan sebaliknya. Contoh lain adalah soal perilaku homoseks di kalangan individu lesbian, gay, biseks, dan transgender (LGBT). Ahli psikologi dunia, yang waktu itu diprakarsai oleh para ahli dari Amerika, telah mengeluarkan perilaku homoseks dari daftar gangguan jiwa pada 1960-an. Itu dilakukan setelah ada tekanan dari kelompok-kelompok pembela hak asasi LGBT. Faktanya memang hingga saat ini masalah gangguan jiwa belum bisa dibuktikan secara meyakinkan. Setelah masa-masa kritis itu lewat, tidak pernah lagi ada upaya untuk memasukkan perilaku homoseks ke dalam kategori gangguan jiwa. Ini juga diperkuat oleh bertambahnya pengetahuan manusia tentang seksualitas dan gender. Namun, lagi-lagi, kesimpulan tentang perilaku homoseks yang telah diteliti oleh para ahli selama puluhan tahun kembali digugat. Bukan semata-mata untuk ilmu pengetahuan, namun demi pembenaran tindakan opresi terhadap kelompok minoritas LGBT. Kembali ke pokok kegelisahan, yaitu penurunan intelektual bangsa yang tampaknya dipimpin sendiri oleh generasi milenial Indonesia, generasi yang seharusnya modern, generasi yang paling terhubung dengan dunia luar. Pada kenyataannya, generasi milenial Indonesia adalah generasi yang kemampuan berpikirnya telah dihancurkan sejak dalam kandungan oleh Orde Baru. Jika dampak bom atom di Hiroshima-Nagasaki adalah cacat tubuh dan gangguan jiwa, maka dampak kejahatan Orba adalah cacat pikiran, yang mana untuk mencari obatnya. Indonesia, yang selalu bangga dengan ‘bonus demografi’ ternyata malah mengalami ‘defisit demografi’, dimana anak-anak mudanya tidak mau membaca, tidak mau mencipta, memiliki tingkat literasi paling rendah di dunia, dan mudah percaya doktrin ekstrem. Anak muda yang lebih senang menjadi pekerja untuk orang lain, bukan menjadi pemecah masalah.
Dari segelintir anggota milenial Indonesia yang memiliki kemampuan (dan keinginan) untuk bernalar, tidak ada yang sanggup mengubah arus yang sudah terlanjur deras ini. Sebagian dari kelompok itu justru ingin meraup keuntungan dari situasi yang ada, sebagian lagi jatuh ke dalam perangkap elitis.
Nama : Isna Sesari Yuliarna
NIM :1101617116