Post by ferahrwt on Aug 17, 2018 17:28:10 GMT
“Attitude” dan ‘Sopan Santun’ Perlu Keseimbangan
oleh " Fera Herawati "
Apabila attitude diterapkan pada kehidupan sehari-hari, kita mendapatkan tanggung jawab yang besar dengan hasil yang akan menimbulkan pengaruhnya terhadap masyarakat. Sama halnya dengan IQ dan EQ. Keduanya mesti seimbang, apabila salah satu lebih besar akan berakibat buruk. Beberapa karakter dari sopan santun yang harus dimiliki ialah sopan santun terhadap diri sendiri, sopan santun terhadap guru/dosen, sopan santun terhadap pergaulan dan sopan santun terhadap lingkungan.
Attitude dan sopan santun berkenaan dengan keseluruhan performance seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu di dalam karakter ini terkandung unsur moral, sikap, sampai pada perilaku. Sulit rasanya mendeteksi seseorang memiliki karakter yang baik atau jelek, manakala belum menyaksikan dan merasakan perbuatan tertentu dari orang tersebut. Oleh karena itu, karakter sebagai kualitas moral akan selalu terintegrasi dengan kematangan intelektual dan emosional. Menurut Cronbach (1997)
Attitude dan sopan santun merupakan bagian dari kepribadian yang terbentuk oleh kebiasaan dan gagasan yang keduanya tidak dapat terpisahkan. Untuk membentuk karakter yang diinginkan, maka unsur-unsur keyakinan, perasaan, dan tindakan yang merupakan unsur-unsur yang saling terkait sehingga untuk mengubah karakter berarti melakukan reorganisasi terhadap kepribadian. Di sinilah makna penting pendidikan, sebagai upaya rekonstruksi dan reorganisasi kepribadian, dalam rangka membangun karakter mahasiswa yang seharusnya. Apalagi proses-proses pendidikan pastilah mengintegrasikan sistem keyakinan diri sendiri, orang lain, sistem keyakinan masyarakat sekitar.
Berbeda dengan Cronbach, Lickona (1992) yang memandang karakter terbagi ke dalam tiga bidang yang saling terkait yakni moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Oleh karena itu, karakter yang baik mengandung tiga kompetensi, yakni mengetahui hal yang baik, ada keinginan terhadap hal yang baik , dan melakukan hal yang baik, sehingga pada gilirannya ia akan menjadi “ kebiasaan berpikir”, “kebiasaan hati”, dan “kebiasaan bertindak”.
Perlu diketahui, hampir semua perusahaan ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi karyawannya. Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill saja kini sudah ditinggalkan. Percuma jika hard skill baik, tetapi soft skillnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja berbagai perusahaan yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill, seperi team work, kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship, dalam job requirementnya
Saat rekrutasi karyawan, perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillnya lebih rendah. Alasannya sederhana yakni memberikan pelatihan keterampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren dalam strategi rekrutasi „ Recruit for Attitude, Train for Skill“.
Ini merupakan refleksi bagi para calon aktor di dunia kerja. Mahasiswa yang akan menjadi aktor tersebut, sudah seharusnya sebagai insan akademik mengasah kemampuan soft skill sejak dini disamping kemampuan hard skill. Sebab soft skill yang dimiliki sejak dini akan menjadi peluang besar terhadap kesuksesan pribadi seseorang.
Bentuk implementasi dari pengembangan soft skill di Perguruan Tinggi merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal.
Sikap baik seperti integritas, inisiatif, motivasi, etika, kerja sama dalam tim, kepemimpinan, kemauan belajar, komitmen, mendengarkan, tangguh, fleksibel, komunikasi lisan, jujur, berargumen logis, dan lainnya, yang diminta oleh kalangan pemberi kerja adalah atribut soft skill.
Merupakan suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Selama ini juga disinyalir telah terjadi kesenjangan antara dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja. Perguruan tinggi memandang lulusan yang mempunyai kompetensi tinggi adalah mereka yang lulus dengan nilai tinggi. Sedangkan dunia kerja menganggap bahwa lulusan yang high competence adalah mereka yang mempunyai kemampuan teknis dan sikap yang baik. Lalu seberapa besar semestinya muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan?, kalau mengingat bahwa sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih disebabkan oleh unsur soft skillnya.
Pendidikan soft skill tentu menjadi kebutuhan urgent dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.
Melihat begitu pentingnya soft skill bagi calon-calon aktor dunia kerja kedepannya dan usaha maka pengembangan soft skills di perguruan tinggi harus dilakukan secara integratif dan menyeluruh agar attitude dan sopan santun yang seharusnya dimiliki oleh setiap mahasiswa.
#PKKMBTPUNJ2018_3