Post by hasan on Aug 24, 2018 16:20:25 GMT
PENERAPAN KOLABORASI BAGI GENERASI
Nama : Farhanurdin Hasan Alfarizi
Prodi : Teknologi Pendidikan
#PKKMBTPUNJ2018_3
PENERAPAN KOLABORASI BAGI GENERASI.docx (15.95 KB)
Menurut saya saat Indonesia genap berusia 100 tahun, menjadi salah satu alasan munculnya ide, wacana dan gagasan tentang Generasi Emas 2045. Istilah ini sering diutarakan tanpa sebab, pasalnya ada satu harta karun yang sejatinya bisa menjadi modal untuk kelangsungan bangsa dan negara ini kedepannya, bernama bonus demografi. Pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045.
Bisa dibilang demografi tersebut adalah perencanaan yang luar biasa bagi Indonesia, untuk mewujudkan perencanaan tersebut penduduk Indonesia dalam usia produktif harus memiliki beberapa poin penting yang harus dipehatikan yaitu : “Critical Thinking, Creative, Collaborative, Communicative dan Attitude”. Berikutnya saya ingin mengaris bawahi titik kritis saya tentang pentingnya membangun budaya collaborative. Budaya yang saya maksud yaitu dunia pendidikan terbangun dalam satu sistem yang padu, rapi, terstruktur, mudah dilakukan dan akhirnya membuahkan hasil berupa output sistem pendidikan yang bermutu.
Saya menyarankan dalam struktur kurikulum sekolah formal, karena sejauh ini hanya sekolah formal yang memiliki struktur kurikulum yang tertulis, rapi, sistematis, sementara untuk jalur pendidikan nonformal dan informal sifat hanya tersirat tidak tersurat. Dalam struktur kurikulum sekolah tercantum pelibatan elemen orang-orang dirumah siswa dan masyarakat sekitar. Maka seorang guru dan satuan pendidikan harus bisa mengemas proses pembelajaran sepanjang waktu, any where, any things and any time. Artinya sepulang dari sekolah, anak tidak lantas meninggalkan target kompetensi belajarnya, malainkan hanya berpindah tempat dan lingkungan yang awalnya disekolah menjadi dirumah dan dilingkungan masyarakat, maka siapa yang menjadi pengganti gurunya mereka adalah orang tau, masyarakat dan sumber belajar lain yang bisa digunakan, baik dari perpustakaan masyarakat (yang juga belum terbudaya), tempat peribadatan, maupun alam sekitar berupa kebun warga, lapangan olah raga, taman, area bermain dan lain-lain. Artinya semua elemen, semua tempat, setiap waktu, mendukung dan memungkinkan siswa atau anak didik untuk terus mengupagrade wawasannya. Dan bukan hanya siswa, melainkan masyarakat juga akan dengan sendirinya terbantu secara tidak langsung dan terbangun dalam budaya dan lingkungan learning society.
Biar gagasan itu bisa lebih dimengerti, saya berikan contoh sederhana, misalnya dalam mata pelajaran biology, seorang guru tidak boleh hanya menjadikan sekolah dan laboratorium biologi sekolah (dengan segala keterbatasannya) untuk mencapai tujuan pembelajaran yang harus di capai oleh siswa. Melainkan bisa berkolaborasi dengan orang tua, dan masyarakat. Konkritnya bertanya kepada orang tua siswa atau tokoh masyarakat yang mengetahui kebun warga yang memiliki tumbuhan atau hewan ternak yang terkait dengan kompetensi dalam mata pelajaran biologi tadi, lalu guru dan siswa atau boleh hanya siswa yang diberikan panduan oleh guru untuk melakukan kegiatan observasi lapangan lalu membuat laporan dan mempersentasikan di kelasnya. Saya pikir hal ini selain akan berdampak pada terbangunnya learning society juga bisa menjadi sarana latihan siswa untuk gemar melakukan kegiatan penelitian dan hal ini sampai saat ini masih minim dilakukan disekolah-sekolah.
Kegiatan semacam itu bukan hanya bermanfaat untuk siswa da guru tapi juga untuk para petani, para peternak, karena setidaknya bisa terjadi proses sharing, misalnya ada siswa yang pernah observasi di pertanian milik petani dan peternak yang lain yang lebih bagus, maka ia bisa sharing kepada petani dan peternak yang baru ia temui, jika melihat proses pertaniannya belum maju. Manfaat lainnya adalah untuk menjauhkan gengsi siswa dengan dunia pertanian dan peternakan, karena ini juga bisa menjadi masalah serius, buktinya hasil survey pemerintah bahwa ternyata yang paling kritis di negara kita saat ini bukan hanya persoalan ekonomi dan energi melainkan pangan. Kita bisa temui di tempat belanja buah-buah dan sayuran impor, ini membuktikan bahwa pertanian dinegara kita mengalami penurunan, seiring berjalannya roda perindustrian. Nah dengan pembelajaran kolaboratif diharapkan siswa yang tidak berkesempatan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi bisa lebih aware akan pertanian dan pangan.
Mengakhiri tulisan saya kali ini, saya berikan sebuah contoh sederhana tentang pentingnya budaya kolaborasi dalam semua hal termasuk dunia pendidikan. Misalnya dalam permainan sepak bola, sebuah klub yang memiliki pemain bintang tidak selamanya otomatis keluar jadi juara dalam ajang kompetisi, hal itu dikarenakan para pemainnya tidak bisa membangun sistem penyerangan, sistem pertahanan dan organisasi irama permainan yang baik, sementara disisi lain, klub yang hanya dihuni oleh pemain yang biasa-biasa saja, tidak terlalu menonjol mampu menampilkan dirinya sebagai juara karena mereka mampu membangun irama kolaborasi yang baik dan efektif, pun dalam membangun sistem pendidikan kita, irama parsialisasi, irama dikotomi, irama beda kamar saya kira sudah bukan jamannya untuk terus dipertahakan, mengingat era informasi ini mengharuskan kita selalu berkolaborasi, bahasa agamanya adalah berjama’ah.
Nama : Farhanurdin Hasan Alfarizi
Prodi : Teknologi Pendidikan
#PKKMBTPUNJ2018_3
PENERAPAN KOLABORASI BAGI GENERASI.docx (15.95 KB)